Setelah berhasil meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1776, Amerika Serikat tidak langsung menjelma menjadi kekuatan dunia seperti saat ini. Namun, sejarah menunjukkan bahwa semangat ekspansi dan intervensi militer sudah mulai diperlihatkan sejak awal abad ke-19. Meski kerap menyuarakan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi, Amerika juga memulai petualangan militernya ke berbagai kerajaan dan wilayah yang jauh dari tanah airnya, dengan dalih perlindungan kapal dagang atau kepentingan nasional.
Salah satu contohnya adalah ekspedisi militer Amerika ke Kerajan Kuala Batu di bawah Kesultanan Aceh, Sumatra, pada tahun 1832. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai First Sumatran Expedition, kapal perang USS Potomac dikirim untuk membalas pembunuhan awak kapal dagang Friendship. Tanpa banyak perundingan, pasukan AS menyerang pelabuhan Kuala Batu, menghancurkan pemukiman, dan membunuh pasukan lokal Aceh yang dipimpin para uleëbalang. Aksi militer ini menjadi simbol awal campur tangan Amerika di Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Enam tahun kemudian, serangan serupa kembali dilancarkan dalam ekspedisi kedua ke Sumatra. Aksi-aksi ini tidak hanya membentuk citra Amerika sebagai pelindung kapal dagangnya, tetapi juga memperkenalkan wajah baru kolonialisme dalam balutan kekuatan militer modern. Serangan ini bahkan dilihat sebagai cikal bakal keterlibatan Amerika dalam urusan Asia Tenggara.
Serangan Amerika ke dunia Islam juga dimulai sejak masa pendudukan Filipina. Pada akhir abad ke-19, saat Amerika menggantikan kekuasaan Spanyol, wilayah-wilayah Muslim seperti Kesultanan Sulu dianggap berpotensi memicu pemberontakan berskala besar. Untuk menghindari perang suci, AS meminta bantuan diplomatik dari Kesultanan Utsmaniyah. Sultan Abdul Hamid II akhirnya mengirim surat kepada rakyat Sulu agar tunduk pada Amerika.
Diplomasi yang dibungkus dalih agama ini terbukti berhasil. Rakyat Moro di Sulu menolak ajakan bergabung dalam pemberontakan Emilio Aguinaldo. Presiden McKinley bahkan menyatakan bahwa aksi diplomatik tersebut menghemat hingga dua puluh ribu pasukan Amerika yang seharusnya dikerahkan untuk menumpas peperangan. Hal ini menunjukkan bagaimana agresi militer AS sering diimbangi dengan taktik diplomatik untuk memuluskan dominasi wilayah.
Tidak hanya di Asia, Amerika juga turut memainkan peran besar dalam peristiwa penggulingan Kerajaan Hawaii. Pada 1893, kelompok warga asing pro-Amerika mengorganisasi kudeta terhadap Ratu Liliʻuokalani. Dengan dukungan langsung dari Marinir AS yang dikerahkan oleh Menteri AS untuk Hawaii, mereka mendirikan Republik Hawaii sebagai batu loncatan menuju aneksasi. Lima tahun kemudian, Amerika resmi mencaplok kepulauan tersebut dan menjadikannya bagian dari wilayahnya.
Serangkaian intervensi militer dan diplomasi paksa ini menunjukkan bahwa Amerika telah lama berperan sebagai kekuatan ekspansif, meski belum secara formal menjadi adidaya global. Hal ini menjadi penting untuk dipahami ketika melihat pola intervensi AS di abad ke-21, termasuk dalam ketegangan terbaru dengan Iran. Serangan Israel ke Iran baru-baru ini yang didukung senyap oleh Amerika, mengingatkan kembali pada pola lama dominasi dan tindakan sepihak Washington.
Meski narasi resmi selalu menyuarakan keamanan global, demokrasi, dan hak asasi manusia, kenyataan di lapangan kerap menunjukkan prioritas pada kepentingan nasional Amerika yang dibungkus dalam aksi militer. Seperti di masa lalu, operasi militer yang jauh dari tanah air tetap dibenarkan dengan alasan perlindungan warga atau kepentingan strategis.
Kehadiran militer AS di berbagai penjuru dunia, dari Teluk Persia hingga Asia Tenggara, mencerminkan warisan panjang intervensi yang tak kunjung surut. Dari Sumatra hingga Sulu, dari Hawaii hingga Irak dan kini Iran, Amerika membangun rekam jejak militer yang menimbulkan banyak pertanyaan tentang etika dan kepatutan intervensi asing.
Pola lama tersebut juga terlihat dalam bagaimana AS menggunakan kekuatan maritim untuk menyampaikan pesan kekuasaan. Dalam kasus Sumatra, kapal perang menjadi alat utama untuk menundukkan kerajaan lokal. Kini, kapal induk dan drone menjadi senjata diplomasi keras dalam konflik Timur Tengah.
Sementara itu, diplomasi agama seperti yang dilakukan dengan Sultan Abdul Hamid menunjukkan bagaimana AS mampu memainkan berbagai pendekatan untuk meredam perlawanan dan memaksakan kendali. Pendekatan ini kini terlihat dalam cara AS mempengaruhi kebijakan negara-negara sekitar Iran agar tidak memprotes agresi Israel, bahkan ketika korban sipil berjatuhan di genosida Gaza dan Teheran.
Momen saat Israel menyerang Iran, dengan dukungan teknologi dan intelijen dari Amerika, merefleksikan ulang sejarah panjang intervensi AS yang selalu disesuaikan dengan lanskap geopolitik zaman. Walau peran langsung AS tampak minim, jejak dukungan logistik dan politis tetap menjadi bagian tak terpisahkan.
Dari serangan ke Kuala Batu hingga pembentukan Republik Hawaii, dari surat sultan Ottoman untuk Sulu hingga proxy war di Timur Tengah, Amerika Serikat memperlihatkan kesinambungan pola: intervensi, dominasi, dan aliansi pragmatis. Dalam kerangka itu, konflik Iran-Israel bukan hanya pertarungan dua musuh regional, melainkan kelanjutan dari sejarah panjang proyek global Amerika.
Kini, dunia kembali dihadapkan pada pilihan: menerima intervensi dengan bungkus stabilitas atau menolak hegemoni yang tak segan memakai kekuatan. Dalam sorotan sejarah, petualangan militer Amerika sejak abad ke-19 memberi banyak pelajaran bagi masa kini—bahwa niat baik tidak selalu bersih dari kepentingan, dan perang jarak jauh tetap meninggalkan jejak panjang di tanah yang jauh dari Washington.
loading...
Tidak ada komentar:
Write komentar