TEGAL ternyata identik dengan Bandung. Tidak percaya? Di Kab. Tegal terdapat kota kecil bernama Banjaran yang letaknya sekitar 5 km dari Slawi, ibu kota Kab. Tegal atau hampir sama persis dengan Banjaran yang tak jauh dari Soreang, ibu kota Kab. Bandung.
Tegal juga memiliki Bandung, tepatnya Desa Bandung di Kec. Tegal Selatan, Kota Tegal. Untuk membedakannya, orang Tegal menambahkan dengan sebutan "bandung kimpling".
Tegal juga memiliki Bandung, tepatnya Desa Bandung di Kec. Tegal Selatan, Kota Tegal. Untuk membedakannya, orang Tegal menambahkan dengan sebutan "bandung kimpling".
Tegal juga identik dengan warung tegal (warteg), meski di Bandung jumlahnya tidak sebanyak Jakarta, Bekasi, atau Tangerang. Namun, uniknya warteg-warteg di Kota dan Kab. Bandung memiliki "alur keturunan" yang hampir sama, yakni pemiliknya rata-rata dari Desa Kalinyamat Wetan, Kec. Tegal Selatan.
"Umumnya warteg dikuasai warga Desa Sidapurna dan Desa Sidakaton, Kec. Dukuh Turi, Kab. Tegal atau warga Desa Cabawan dan Desa Krandon, Kota Tegal. Tapi, kalau di Bandung, penguasa warteg dari Desa Kalinyamat Wetan atau Kalwet," kata pemilik warteg, Sarimun, Senin (11/5).
Penguasa kedua warteg di Bandung berasal dari Desa Margadana, tetangga Desa Kalwet. "Umumnya warteg Margadana menggunakan nama Marga bukan Bahari. Warna wartegnya juga mencolok dengan warna biru," katanya.
Hal ini tak lepas dari sejarah asal mula warteg di Bandung yang dipelopori orang-orang Kalwet pada tahun 1940-an di daerah Jln. Pajagalan, Kota Bandung. Tapi, kata Sarimun, ada juga yang menyebut warteg pertama di Bandung di Jln. Kopo, dekat RS Immanuel yang berdiri pada tahun 1950-an.
"Saya membuka warteg di Bandung sejak tahun 1995 di daerah Kopo dekat Lanud Sulaiman. Dari dulu enggak pindah, meski sewa warung naik terus," katanya yang kini menyewa rumah untuk warung Rp 6 juta/tahun.
Pengusaha warteg di Bandung, kata Sarimun, harus merogoh kocek lebih dalam apabila berbelanja bahan-bahan masakan. "Kalau pedagang di pasar-pasar Jakarta akan mengurangi harga apabila kita menjadi langganannya. Di Bandung beda. Kalau kita sudah menjadi langganan harganya malah lebih mahal. Mungkin untuk menarik pembeli harganya dimurahkan, lalu setelah jadi pelanggan malah dimahalkan," katanya.
"Umumnya warteg dikuasai warga Desa Sidapurna dan Desa Sidakaton, Kec. Dukuh Turi, Kab. Tegal atau warga Desa Cabawan dan Desa Krandon, Kota Tegal. Tapi, kalau di Bandung, penguasa warteg dari Desa Kalinyamat Wetan atau Kalwet," kata pemilik warteg, Sarimun, Senin (11/5).
Penguasa kedua warteg di Bandung berasal dari Desa Margadana, tetangga Desa Kalwet. "Umumnya warteg Margadana menggunakan nama Marga bukan Bahari. Warna wartegnya juga mencolok dengan warna biru," katanya.
Hal ini tak lepas dari sejarah asal mula warteg di Bandung yang dipelopori orang-orang Kalwet pada tahun 1940-an di daerah Jln. Pajagalan, Kota Bandung. Tapi, kata Sarimun, ada juga yang menyebut warteg pertama di Bandung di Jln. Kopo, dekat RS Immanuel yang berdiri pada tahun 1950-an.
"Saya membuka warteg di Bandung sejak tahun 1995 di daerah Kopo dekat Lanud Sulaiman. Dari dulu enggak pindah, meski sewa warung naik terus," katanya yang kini menyewa rumah untuk warung Rp 6 juta/tahun.
Pengusaha warteg di Bandung, kata Sarimun, harus merogoh kocek lebih dalam apabila berbelanja bahan-bahan masakan. "Kalau pedagang di pasar-pasar Jakarta akan mengurangi harga apabila kita menjadi langganannya. Di Bandung beda. Kalau kita sudah menjadi langganan harganya malah lebih mahal. Mungkin untuk menarik pembeli harganya dimurahkan, lalu setelah jadi pelanggan malah dimahalkan," katanya.
loading...
Tidak ada komentar:
Write komentar