Jumat, 26 Februari 2010

Pengalaman Membuka Toko

    10.15   No comments

Setelah sebelumnya berfokus pada usaha yang bersifat business to business (B2B) saya tertarik juga untuk mencoba masuk ke bidang usaha yang memungkinkan saya bertemu dengan end user/business to customer (b2c).

Keinginan ini dilatarbelakangi oleh kejenuhan melayani konsumen korporat yang terkadang diwarnai oleh birokrasi yang berbelit, persaingan dengan kompetitor yang melakukan lobi kurang etis dan politik bisnis lainnya.

Awalnya saya pikir bahwa melayani konsumen perorangan akan lebih menyenangkan karena mereka cenderung jujur akan apa yang mereka harapkan dari sebuah produk/layanan. Berbekal pemikiran tersebut dan tantangan untuk memulai jenis usaha baru akhirnya sekitar sebulan yang lalu saya memutuskan untuk membuka sebuah toko yang menjual berbagai koleksi produk unik dan berkualitas.

Untuk mempromosikan toko ini kami juga rajin mengikuti berbagai bazaar dan pameran. Di samping memperkenalkan toko sekaligus juga untuk mengedukasi pasar mengenai beberapa produk yang kami jual. Maklum beberapa produk memang menyasar segmen premium dan masih asing bagi konsumen di kota Salatiga sehingga perlu edukasi mengenai manfaat dan keunggulannya.

Konsep toko yang saya buka ini adalah toko yang menyediakan berbagai produk unik, eksklusif, berkualitas namun harganya juga cukup terjangkau. Untuk memenuhi syarat harga terjangkau akhirnya saya memutuskan untuk memotong margin dan mengurangi biaya operasional. Agar biaya operasional dapat ditekan maka ketimbang menyewa sebuah toko berukuran besar saya memilih yang berukuran lebh kecil namun didesain sedemikian rupa sehingga tetap tampak menarik, selain itu seluruh barang yang dijual harus berasal dari produsen langsung tanpa perantara sehingga harga jualnya juga bisa ditekan.

Ternyata setelah satu bulan toko ini beroperasi begitu banyak pengalaman dan kejadian yang saya pelajari. Dimana pelajaran ini mengubah pemikiran saya sebelumnya bahwa mengelola konsumen perorangan akan lebih mudah ketimbang konsumen korporat.

Jika semula saya bayangkan bahwa dengan produk yang berkualitas, layanan yang ramah dan harga yang terjangkau sudah cukup untuk memberikan kepuasan bagi konsumen ternyata tidak demikian kenyataannya.

Hari pertama toko dibuka datanglah tetangga tempat toko tersebut berada, setelah mengobrol dan melihat-lihat akhirnya sang tetangga ini membeli sebuah sandal anak dan minta potongan harga. Kebetulan memang selama masa promo 1 bulan kami memberi potongan harga 10% all item.

Ternyata tetangga saya ini masih menawar katanya minta harga khusus sebagai tetangga, akhirnya saya memberikan potongan lagi. Harga jual produk tersebut adalah Rp 25.000,-. Saya beli dari produsen ditambah ongkos kirim harganya Rp 20.000 jika dipotong diskon 10% maka keuntungan yang saya peroleh selama masa promosi semestinya adalah Rp 2.500,-, namun karena tetangga saya ini terus mendesak akhirnya saya relakan juga keuntungan Rp 2.500,- itu sehingga sekedar balik modal saja tentu saya pesan supaya tidak bercerita ke orang lain
mengenai harga super istimewa yang saya berikan itu. Saya pikir tidak apa-apa hitung-hitung menjaga hubungan baik dengan tetangga dan siapa tahu dipromosikan ke kenalannya.

Benar juga hari berikutnya tetangga saya ini benar-benar mempromosikan ke saudara-saudaranya sehingga hari itu mereka beramai-ramai ke toko, bayangkan di hari kedua sudah seramai itu. Untungkah saya? Oopss…tidak seindah itu, ternyata mereka semua meminta harga yang sama seperti yang saya berikan ke tetangga saya di hari sebelumnya. Bayangkan!!! Setelah tawar menawar macam di pasar tradisional akhirnya saya rela menerima keuntungan hanya Rp 1.000,- per item. Padahal saya masih harus membayar sewa tempat, listrik, kebersihan, gaji pegawai dan biaya operasional lainnya. Sudah pasti angkanya minus jika dihitung.
Yah sudahlah saya relakan lagi dan anggap saja sebagai biaya promosi namun tentu kali ini saya benar-benar menekankan untuk tidak menceritakan harga itu ke orang lain lagi.

Ternyata masalahnya tidak selesai sampai disitu, selang seminggu kemudian tiga dari tujuh pembeli dengan harga super istimewa ini kembali untuk menukarkan sandal tersebut dengan alasan terlalu kecil untuk anaknya (waktu membeli anaknya memang tidak diajak). Datang bersamaan dengan nada sok kuasa mereka menuntut penukaran ukuran seolah-olah kami yang salah, padahal ketika memilih ukuran kami sama sekali tidak memberikan saran karena memang anak-anaknya tidak diajak sehingga tidak bisa diperkirakan ukurannya. Daripada ribut-ribut akhirnya saya putuskan untuk menerima meski barang yang dikembalikan packing-nya sudah tidak rapi, sticker nomor ukuran yang ada juga sudah tidak ada sehingga menyulitkan untuk dijual kembali (akhirnya barang-barang tersebut juga tidak saya jual).

Konsumen lain juga tak jauh berbeda perilakunya terutama menyangkut harga. Toko kami menjual sepatu wanita yang dijual seharga Rp 85.000 sesuai harga eceran terendah produsen, tidak sedikit yang datang ke toko maupun stand kami saat bazaar dan pameran untuk menawar dengan harga yang tidak masuk akal. Saya ingat seorang Ibu yang menawar dengan sinis untuk mendapat harga Rp 30.000,-, bahkan katanya akan membeli dua pasang jika boleh membeli dengan harga itu, dengan berusaha tetap ramah saya menjelaskan bahwa harga kulaknya saja jauh di atas harga yang diminta oleh si Ibu. Dalam hati saya berpikir jangankan dua pasang, saya yang membeli berlusin-lusin langsung dari produsen pun harganya jauh di atas itu.

Perilaku konsumen terkait harga memang sering tidak masuk akal. Kebetulan selain membuka toko saya juga mengirim beberapa barang yang sama untuk toko-toko lain baik di kota Salatiga maupun sekitarnya. Beberapa toko meski menawarkan discount menjual dengan harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga jual di toko saya namun pembelinya juga tidak menawar dan bersedia mengeluarkan uang sebesar itu untuk produk yang sama.

Ketika mengikuti bazaar beberapa waktu lalu seorang calon pembeli melihat-lihat sebuah produk dan menanyakan harganya. Kebetulan harga produk tersebut di tempat kami Rp 35.000,- kemudian calon pembeli ini menunjukkan produk yang sama yang katanya dibeli di “mall X” di “kota y” dengan harga Rp 45.000,- namun menurutnya kualitasnya lebih halus ketimbang barang yang saya jual. Dalam hati saya sedikit geli karena toko yang dia maksudkan ini juga mengambil barang dari saya hanya saja kemasannya dibuat sendiri. Tentu saja fakta ini tidak saya ceritakan pada konsumen tersebut karena bagaimanapun pemilik toko yang dimaksud adalah customer saya

Ada lagi perilaku unik dari konsumen ketika berkunjung di toko kami, setelah menawar setengah memaksa akhirnya dengan wajah kesal konsumen tersebut meninggalkan toko karena harga yang diminta tidak mungkin kami penuhi. Ternyata selang beberapa menit kemudian sang konsumen kembali untuk membeli barang dengan harga sesuai label. Kejadian ini juga pernah terjadi di sebuah bazaar yang kami ikuti. Saya hanya berpikir jangan-jangan yang diharapkan seperti tawar menawar di pasar yang kadang jika tidak terjadi kesepakatan kemudian ditinggal pergi konsumen berharap bahwa si penjual akan menerima harga yang diminta oleh pembeli. Tentu saja hal ini tidak mungkin terjadi mengingat margin kami memang sudah tipis, bahkan ketika di acara bazaar seringkali kami hanya mengejar balik modal karena tujuan utamanya adalah promosi dan edukasi.

Pengalaman-pengalaman tersebut mengingatkan saya pada salah seorang profesor yang mengajar ketika saya kuliah S2. Beliau selalu menyebutkan bahwa dalam dunia pemasaran yang paling penting adalah memenangkan persepsi konsumen, betapapun berkualitasnya produk yang dijual dan berapapun harga yang diberikan tidak akan berarti jika kita gagal memenangkan persepsi konsumen. Sebaliknya ketika kita berhasil memenangkan persepsinya maka harga yang kita berikan tidak akan menjadi masalah.

Fakta di lapangan sudah membuktikan kata-kata tersebut. Beberapa toko yang saya supply dan menjual dengan harga dua bahkan tiga kali lipat lebih mahal dari harga jual di toko saya adalah toko-toko yang besar dan lokasinya strategis (di pusat keramaian atau di dalam mall). Dengan demikian setidaknya dari pengalaman saya terbukti juga bahwa segmenting, targeting, positioning yang dikombinasi dengan product, price, place dan promotion memang tidak dapat dikesampingkan dalam pemasaran.

Jadi keputusan saya untuk menghemat biaya operasional dengan memilih tempat yang lebih kecil agar bisa menekan harga rupanya tidak cukup efektif untuk memenangkan pelanggan. Bukan hanya itu melayani konsumen perorangan ternyata jauh lebih memusingkan ketimbang melayani korporat, setidaknya demikian menurut saya.

Meski demikian tidak setiap konsumen sulit untuk dilayani, konsumen yang memang segmennya sesuai dengan target yang kami bidik justru tidak serewel itu. Penjelasan mengenai manfaat dan keunggulan produk disertai pelayanan yang baik sudah cukup bagi mereka. Masalahnya seringkali masih banyak konsumen yang “nyasar”, artinya mereka yang sebenarnya bukan segmen yang dibidik namun datang ke toko. Bagaimana mengatasinya sementara toko sudah beroperasi? Saya masih mencoba menemukan jawabnya…
loading...

newsonline

newsonline

Author Description here.. adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

Tidak ada komentar:
Write komentar

Ekonomi Kecil

TOBAPOS

Labels

Recent Posts

Berita DEKHO

© 2014 Ayo Buka Toko. Designed by Bloggertheme9
Proudly Powered by Blogger.