Warung

Warung

Kuliner

Tips

Pelanggan

Galeri

Senin, 23 Juni 2025

Jejak Agresif Amerika Sejak Masa Awal Merdeka

    13.05   No comments

Setelah berhasil meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1776, Amerika Serikat tidak langsung menjelma menjadi kekuatan dunia seperti saat ini. Namun, sejarah menunjukkan bahwa semangat ekspansi dan intervensi militer sudah mulai diperlihatkan sejak awal abad ke-19. Meski kerap menyuarakan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi, Amerika juga memulai petualangan militernya ke berbagai kerajaan dan wilayah yang jauh dari tanah airnya, dengan dalih perlindungan kapal dagang atau kepentingan nasional.

Salah satu contohnya adalah ekspedisi militer Amerika ke Kerajan Kuala Batu di bawah Kesultanan Aceh, Sumatra, pada tahun 1832. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai First Sumatran Expedition, kapal perang USS Potomac dikirim untuk membalas pembunuhan awak kapal dagang Friendship. Tanpa banyak perundingan, pasukan AS menyerang pelabuhan Kuala Batu, menghancurkan pemukiman, dan membunuh pasukan lokal Aceh yang dipimpin para uleëbalang. Aksi militer ini menjadi simbol awal campur tangan Amerika di Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Enam tahun kemudian, serangan serupa kembali dilancarkan dalam ekspedisi kedua ke Sumatra. Aksi-aksi ini tidak hanya membentuk citra Amerika sebagai pelindung kapal dagangnya, tetapi juga memperkenalkan wajah baru kolonialisme dalam balutan kekuatan militer modern. Serangan ini bahkan dilihat sebagai cikal bakal keterlibatan Amerika dalam urusan Asia Tenggara.

Serangan Amerika ke dunia Islam juga dimulai sejak masa pendudukan Filipina. Pada akhir abad ke-19, saat Amerika menggantikan kekuasaan Spanyol, wilayah-wilayah Muslim seperti Kesultanan Sulu dianggap berpotensi memicu pemberontakan berskala besar. Untuk menghindari perang suci, AS meminta bantuan diplomatik dari Kesultanan Utsmaniyah. Sultan Abdul Hamid II akhirnya mengirim surat kepada rakyat Sulu agar tunduk pada Amerika.

Diplomasi yang dibungkus dalih agama ini terbukti berhasil. Rakyat Moro di Sulu menolak ajakan bergabung dalam pemberontakan Emilio Aguinaldo. Presiden McKinley bahkan menyatakan bahwa aksi diplomatik tersebut menghemat hingga dua puluh ribu pasukan Amerika yang seharusnya dikerahkan untuk menumpas peperangan. Hal ini menunjukkan bagaimana agresi militer AS sering diimbangi dengan taktik diplomatik untuk memuluskan dominasi wilayah.

Tidak hanya di Asia, Amerika juga turut memainkan peran besar dalam peristiwa penggulingan Kerajaan Hawaii. Pada 1893, kelompok warga asing pro-Amerika mengorganisasi kudeta terhadap Ratu Liliʻuokalani. Dengan dukungan langsung dari Marinir AS yang dikerahkan oleh Menteri AS untuk Hawaii, mereka mendirikan Republik Hawaii sebagai batu loncatan menuju aneksasi. Lima tahun kemudian, Amerika resmi mencaplok kepulauan tersebut dan menjadikannya bagian dari wilayahnya.

Serangkaian intervensi militer dan diplomasi paksa ini menunjukkan bahwa Amerika telah lama berperan sebagai kekuatan ekspansif, meski belum secara formal menjadi adidaya global. Hal ini menjadi penting untuk dipahami ketika melihat pola intervensi AS di abad ke-21, termasuk dalam ketegangan terbaru dengan Iran. Serangan Israel ke Iran baru-baru ini yang didukung senyap oleh Amerika, mengingatkan kembali pada pola lama dominasi dan tindakan sepihak Washington.


Meski narasi resmi selalu menyuarakan keamanan global, demokrasi, dan hak asasi manusia, kenyataan di lapangan kerap menunjukkan prioritas pada kepentingan nasional Amerika yang dibungkus dalam aksi militer. Seperti di masa lalu, operasi militer yang jauh dari tanah air tetap dibenarkan dengan alasan perlindungan warga atau kepentingan strategis.

Kehadiran militer AS di berbagai penjuru dunia, dari Teluk Persia hingga Asia Tenggara, mencerminkan warisan panjang intervensi yang tak kunjung surut. Dari Sumatra hingga Sulu, dari Hawaii hingga Irak dan kini Iran, Amerika membangun rekam jejak militer yang menimbulkan banyak pertanyaan tentang etika dan kepatutan intervensi asing.

Pola lama tersebut juga terlihat dalam bagaimana AS menggunakan kekuatan maritim untuk menyampaikan pesan kekuasaan. Dalam kasus Sumatra, kapal perang menjadi alat utama untuk menundukkan kerajaan lokal. Kini, kapal induk dan drone menjadi senjata diplomasi keras dalam konflik Timur Tengah.

Sementara itu, diplomasi agama seperti yang dilakukan dengan Sultan Abdul Hamid menunjukkan bagaimana AS mampu memainkan berbagai pendekatan untuk meredam perlawanan dan memaksakan kendali. Pendekatan ini kini terlihat dalam cara AS mempengaruhi kebijakan negara-negara sekitar Iran agar tidak memprotes agresi Israel, bahkan ketika korban sipil berjatuhan di genosida Gaza dan Teheran.

Momen saat Israel menyerang Iran, dengan dukungan teknologi dan intelijen dari Amerika, merefleksikan ulang sejarah panjang intervensi AS yang selalu disesuaikan dengan lanskap geopolitik zaman. Walau peran langsung AS tampak minim, jejak dukungan logistik dan politis tetap menjadi bagian tak terpisahkan.

Dari serangan ke Kuala Batu hingga pembentukan Republik Hawaii, dari surat sultan Ottoman untuk Sulu hingga proxy war di Timur Tengah, Amerika Serikat memperlihatkan kesinambungan pola: intervensi, dominasi, dan aliansi pragmatis. Dalam kerangka itu, konflik Iran-Israel bukan hanya pertarungan dua musuh regional, melainkan kelanjutan dari sejarah panjang proyek global Amerika.

Kini, dunia kembali dihadapkan pada pilihan: menerima intervensi dengan bungkus stabilitas atau menolak hegemoni yang tak segan memakai kekuatan. Dalam sorotan sejarah, petualangan militer Amerika sejak abad ke-19 memberi banyak pelajaran bagi masa kini—bahwa niat baik tidak selalu bersih dari kepentingan, dan perang jarak jauh tetap meninggalkan jejak panjang di tanah yang jauh dari Washington.

Minggu, 06 April 2025

Toko Online atau Offline: Mana Lebih Menguntungkan?

    18.38   No comments
Perkembangan teknologi dan perubahan pola konsumsi yang cepat telah memunculkan banyak pilihan bagi para pengusaha dalam menjalankan bisnis mereka. Di tahun 2025, salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah lebih baik membuka toko online atau offline. Setiap pilihan memiliki keuntungan dan tantangan tersendiri, dan pemilik bisnis harus mempertimbangkan berbagai faktor sebelum memutuskan jalur mana yang lebih menguntungkan.

Toko online telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemudahan berbelanja dari rumah, berbagai metode pembayaran yang aman, serta pengiriman barang yang efisien membuat banyak konsumen beralih ke platform e-commerce. Hal ini terlihat jelas dengan semakin banyaknya aplikasi belanja online yang menawarkan berbagai produk dengan harga bersaing, serta kemudahan pengembalian barang yang rusak atau tidak sesuai.

Salah satu keuntungan utama dari toko online adalah jangkauan pasar yang lebih luas. Pemilik toko online tidak terbatas pada lokasi geografis tertentu, sehingga dapat menjual produk mereka ke berbagai daerah, bahkan negara lain. Keuntungan ini memungkinkan pelaku bisnis untuk memperluas pasar mereka tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk menyewa tempat fisik dan staf yang banyak.


Namun, toko online juga memiliki tantangan tersendiri. Meskipun bisa menjangkau banyak orang, toko online seringkali sulit untuk menciptakan hubungan personal antara penjual dan pembeli. Konsumen tidak bisa merasakan produk secara langsung sebelum membeli, yang bisa menyebabkan keraguan dan ketidakpuasan. Selain itu, persaingan di dunia maya sangat ketat, dengan ribuan e-commerce yang menawarkan produk serupa, sehingga dibutuhkan strategi pemasaran yang matang agar bisnis dapat bersaing.

Di sisi lain, membuka toko offline memiliki keuntungan dalam hal interaksi langsung dengan konsumen. Di toko fisik, pelanggan bisa melihat, menyentuh, dan mencoba produk sebelum memutuskan untuk membeli. Pengalaman berbelanja di toko fisik ini sering kali dianggap lebih memuaskan bagi sebagian orang, terutama untuk barang-barang tertentu seperti pakaian atau peralatan elektronik yang memerlukan demonstrasi langsung.

Selain itu, toko offline memungkinkan pelaku bisnis untuk membangun merek dan loyalitas pelanggan secara lebih personal. Interaksi langsung dengan pelanggan dapat membangun kepercayaan dan menciptakan hubungan jangka panjang. Pemilik toko dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan bahkan menawarkan produk atau layanan yang lebih terarah sesuai dengan kebutuhan individu pelanggan. Ini adalah hal yang sulit dilakukan oleh toko online yang mengandalkan algoritma untuk mempersonalisasi pengalaman berbelanja.

Namun, membuka toko offline juga datang dengan berbagai tantangan. Biaya sewa tempat yang tinggi, terutama di lokasi strategis, bisa menjadi beban besar bagi pengusaha. Belum lagi biaya operasional lainnya seperti gaji karyawan, utilitas, dan pemeliharaan toko. Selain itu, jangkauan pasar toko fisik sangat terbatas pada pelanggan yang berada di sekitar lokasi toko tersebut, yang bisa membatasi potensi pertumbuhan bisnis.

Dengan berkembangnya teknologi dan adanya solusi hybrid antara toko online dan offline, banyak pengusaha kini memilih untuk membuka kedua jenis toko tersebut. Konsep ini dikenal dengan sebutan "omnichannel," di mana pengusaha memanfaatkan toko online untuk menjangkau konsumen yang lebih luas, sementara toko fisik memberikan pengalaman belanja langsung yang lebih personal. Model ini memungkinkan bisnis untuk mendapatkan keuntungan dari kedua sisi, yaitu jangkauan pasar yang luas dari toko online dan loyalitas pelanggan yang terbangun di toko offline.


Pada tahun 2025, dengan semakin berkembangnya teknologi seperti augmented reality (AR) dan virtual reality (VR), pengalaman belanja di toko online dapat semakin mendekati pengalaman di toko fisik. Misalnya, konsumen bisa mencoba pakaian atau perabot rumah secara virtual, atau melihat bagaimana produk tertentu akan terlihat di rumah mereka sebelum memutuskan untuk membeli. Hal ini bisa membantu mengatasi salah satu kelemahan utama dari belanja online, yaitu ketidakmampuan untuk melihat atau mencoba produk sebelum membeli.

Namun, bagi pengusaha yang ingin memulai bisnis dengan modal terbatas, toko online mungkin menjadi pilihan yang lebih baik. Biaya awal yang diperlukan untuk membuka toko online jauh lebih rendah dibandingkan dengan membuka toko fisik. Selain itu, dengan menggunakan platform e-commerce yang sudah ada, seperti Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee, pengusaha tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membangun situs web atau aplikasi mereka sendiri.

Namun, keuntungan ini harus diimbangi dengan upaya pemasaran yang lebih intensif. Di dunia maya, persaingan begitu ketat, dan untuk menarik perhatian konsumen, pengusaha harus memiliki strategi pemasaran digital yang efektif. SEO, iklan berbayar di media sosial, dan pemasaran influencer adalah beberapa cara yang dapat digunakan untuk menarik perhatian pasar online.

Meskipun toko online menawarkan kemudahan dan biaya yang lebih rendah, tidak dapat dipungkiri bahwa toko fisik masih memiliki keunggulan dalam hal membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Untuk bisnis yang mengutamakan pengalaman pelanggan dan ingin membangun komunitas setia, membuka toko offline di lokasi strategis masih bisa menjadi pilihan yang tepat.

Secara keseluruhan, baik membuka toko online maupun offline di tahun 2025 memiliki keuntungan dan tantangan masing-masing. Pemilik bisnis perlu mempertimbangkan jenis produk yang dijual, target pasar, serta anggaran yang tersedia sebelum memutuskan untuk membuka salah satu atau keduanya. Di dunia yang semakin terhubung ini, tidak ada jawaban yang pasti, namun kombinasi dari kedua model ini bisa menjadi pilihan yang paling menguntungkan bagi pengusaha yang ingin mendapatkan hasil optimal dari pasar yang terus berkembang.

Dibuat oleh AI

Kamis, 03 Januari 2019

Mapping dan Database Startup Indonesia 2018: Startup Tumbuh Subur, Indonesia Butuh Data Akurat

    22.31   No comments
ilustrasi
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguna internet mencapai 143 juta orang di tahun 2017 lalu. Angka ini jelas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tengah menikmati perkembangan teknologi digital, termasuk pertumbuhan industri digital secara pesat di beberapa tahun terakhir. Salah satu indikasi geliat tersebut adalah keberadaan empat digital berstatus unicorn di tanah air, terbanyak di Asia Tenggara. Yang bahkan secara total hanya memiliki tujuh unicorn, termasuk empat dari Indonesia, yaitu Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusan untuk terus mendorong laju positif industri digital nasional ini. Presiden Joko Widodo menyatakannya dalam sebuah visi menjadikan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia. Pemerintah misalnya meluncurkan kebijakan-kebijakan terkait e-Commerce dan industri 4.0, serta berbagai program, seperti BEKRAF for Pre-Startup, 1.000 Startup, BEKRAF Developer Day, UKM Go Online, Pendanaan Startup, dan lain-lain. Selain pemerintah, pemangkukepentingan lain pun turut berinisiatif untuk mendukung pengembangan startup di Indonesia, beragam program diselenggarakan BUMN, swasta nasional dan multinational company, perguruan tinggi, hingga asosiasi dan komunitas.

Indonesia boleh bangga, lantaran pertumbuhan startup di Indonesia dianggap sangat pesat. Jadi sebuah tren di kalangan milenial saat ini untuk “Berkolaborasi membangun startup”. Jika sebelumnya kebanyakan sarjana yang baru diwisuda lebih suka mengunjungi situs-situs penyedia informasi lowongan kerja, kini mereka lebih memilih untuk membangun startup sebelum lulus kuliah. Tren inilah yang membuat pertumbuhan startup di Indonesia menjadi terlihat begitu berkembang. Namun, jika ditanyakan berapa jumlah sejatinya startup di Indonesia, niscaya tidak ada yang bisa menyebutkan angkanya dengan akurat atau minimal dibuktikan dengan data yang ada. Ini persoalan. Karena dibalik klaim pertumbuhan starup yang meningkat, ternyata tidak ada yang memiliki data yang akurat terkait jumlah startup di Indonesia.

Menurut Ketua Umum MIKTI, Joddy Hernady, saat ini belum ada acuan yang valid terkait data startup di Indonesia, kalaupun ada data yang beredar dan banyak dijadikan referensi sebenarnya masih belum valid.

“Kami menemukan fakta bahwa belum ada acuan valid mengenai data startup di Indonesia, memang ada beberapa referensi yang kerap digunakan untuk merujuk jumlah startup di Indonesia, namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata sangat tidak valid,” papar Joddy.

Bukan “pepesan kosong” apa yang dikatakan oleh Joddy telah dibuktikan oleh Teknopreneur. Kami mencoba memverifikasi data yang disajikan oleh sebuah website yang disebut-sebut sebagai referensi jumlah startup di Indonesia, alhasil kami harus merasa kecewa. Alih-alih data startup, kami menemukan berbagai jenis usaha konvensional dan bahkan blog pribadi yang disebut sebagai web berita. Banyak dari—yang disebut sebagai –startup yang ada di website tersebut ternyata tidak memiliki informasi yang jelas baik alamat website resmi maupun alamat kantor.

Dari titik inilah kemudian Teknopreneur bersama MIKTI berinisiatif untuk melakukan pengumpulan data startup di Indonesia yang melibatkan beberapa komunitas startup. Terkumpul data 992 startup di seluruh Indonesia dengan berbagai bidang usaha yang telah terverifikasi baik domisili, data founder, hingga kontak yang bisa dihubungi. Tidak berhenti sampai di situ, kami juga melakukan survey yang melibatkan startup-startup yang ada di dalam database untuk mengetahui kondisi real yang mereka alami selama ini.

Dari survey tersebut, kami menemukan bahwa saat ini ada 992 startup di seluruh Indonesia yang telah terverifikasi oleh Teknopreneur. Mayoritas startup di Indonesia bergerak di bidang e-Commerce, ada sekitar 35,48% startup yang bergerak di bidang e-Commerce, sementara sisanya tidak sampai 10 persen terkecuali pada kelompok lainnya yang mencakup IoT, software house, animasi, dll yang mencapai angka 53,63%. Ini sejalan dengan perilaku pengguna internet di Indonesia yang memang sedang menggandrungi belanja online terlebih dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan industri UKM yang membuat beraneka ragam produk yang bisa didapatkan dengan mudah lewat layanan e-Commerce. Dunia pendidikan adalah bidang yang terbesar kedua setelah e-Commerce. Berbagai aplikasi, software dan jasa pendidikan online memang mulai tumbuh dan menarik minat masyarakat. Penyedia jasa guru les atau aplikasi belajar online mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tambahan—selain pendidikan formal di sekolah—bagi keluarga. Sementara startup pariwisata seperti travel agent, pesan hotel, sampai tour organizer menduduki peringkat ketiga terbanyak. Bukan hanya membeli tiket secara online dan memesan kamar hotel, saat ini sudah banyak juga layanan yang menyediakan pemesanan tiket atraksi wisata. Selain meningkatnya angka kunjungan wisata, kesadaran pemerintah untuk mengembangkan industri pariwisata juga membuat bidang ini menjadi sangat menarik bagi para pelaku startup. (sumber)

Perumahan Islami | Bisnis Bakrie | Bisnis Kalla | Rancang Ulang | Bisnis Khairul Tanjung | Chow Kit | Pengusaha | Ayo Buka Toko | Wisata | Medco

Ekonomi Kecil

TOBAPOS

Recent Posts

Berita DEKHO

© 2014 Ayo Buka Toko. Designed by Bloggertheme9
Proudly Powered by Blogger.